Berkunjung ke Pulau Nias serasa menelusuri kehidupan masa lalu, waktu seakan berhenti dipagari budaya megalit yang masih lestari. Di tengah Samudera Hindia yang luas itu, pulau ini menjadi rumah bagi budaya zaman batu kuno yang mengagumkan untuk disambangi.
Pulau Nias terletak di Samudera Hindia sebelah Barat Pulau Sumatera. Pulau indah dan mengagumkan ini dikelilingi sekira 27 pulau-pulau kecil dimana baru 11 pulau di antaranya yang sudah berpenghuni termasuk Pulau Nias, Pulau Simeuleu, Pulau Mentawai dan Pulau Enggano. Lokasi persis Pulau Nias berada sekira 125 km dari pantai barat Sumatera.
Memiliki luas sekira 5.000 km², Pulau Nias merupakan yang terbesar di antara pulau-pulau di sekitarnya. Gunungsitoli adalah ibu kota Nias dimana di sini tersedia fasilitas bagi Anda yang ingin menjelajahi kemegahan alam dan budaya Nias. Di kota ini pula ada Museum Pusaka Nias yang menyimpan sekira 6500 koleksi benda budaya peninggalan Masyarakat Nias.
Memiliki luas sekira 5.000 km², Pulau Nias merupakan yang terbesar di antara pulau-pulau di sekitarnya. Gunungsitoli adalah ibu kota Nias dimana di sini tersedia fasilitas bagi Anda yang ingin menjelajahi kemegahan alam dan budaya Nias. Di kota ini pula ada Museum Pusaka Nias yang menyimpan sekira 6500 koleksi benda budaya peninggalan Masyarakat Nias.
Pulau sepanjang 130 km dengan lebar 45 km ini seolah terasing keberadaannya. Hanya sedikit kapal dagang berlabuh di pulau ini karena memang dilarang. Pihak berwenang akan segera memerintahkan kapal dagang yang mendekat untuk membelok ke pelabuhan di Padang atau ke Pelabuhan di Bengkulu. Oleh karena itu, berkunjung ke Nias serasa menelusuri kehidupan masa lalu, di sana waktu seakan berhenti dengan budaya dan tradisi masih bertahan lestari.
Penduduk Pulau Nias tersebar di sekira 650 desa tetapi banyak dari desa-desa tersebut termasuk sulit dapat dijangkau melalui darat karena medannya yang berat. Upaya pembangunan infrastruktur di kawasan ini harus berhadapan dengan bentuk permukaan tanah yang labil. Jalanan yang baru dibangun biasanya hanya akan berumur pendek karena tanah selalu melesak ke bawah.
Pulau Nias dihuni masyarakat yang hidup mandiri sejak berabad-abad yang lalu. Kebudayaan mereka yang masih terjaga keasliannya dari pengaruh luar telah memikat wisatawan manapun yang menyambanginya. Dalam bahasa setempat, orang Nias menamakan diri mereka sebagai "Ono Niha", kata ono artinya anak atau keturunan, sementara kata niha memiliki arti manusia. Pulau Nias kadang disebut juga sebagai Tanö Niha , dimana kata tanö bermakna tanah.
Nias terkenal di dunia dengan budaya batu dan selancarnya. Salah satu yang tersohor dari atraksi budaya batu ini adalah lompat batu, yaitu pemuda lokal setempat melompati sebuah dinding batu setinggi 2 meter. Sebagai lokasi selancar dunia, Pulau Nias sebanding dengan Hawaii dengan kepemilikan ombak besar yang memikat penghobinya. Pulau Nias juga sempat menjadi tuan rumah Indonesian Open Surfing Championship yang berlokasi di Pantai Lagundri.
Fahombe atau tradisi lompat batu di Pulau Nias lahir dari kebiasaan berperang antardesa masyarakat Pulau Nias. Tradisi tersebut dahulu dikhususkan sebagai persiapan perang dimana setiap desa biasanya membentengi diri dengan pagar bambu setinggi dua meter sehingga para pria desa dilatih untuk bisa melompati pagar tersebut melalui latihan melompati batu. Ini juga sekaligus sebagai sarana uji keberanian dan kedewasaan seorang anak laki-laki di Pulau Nias.
Nias merupakan tanah kuno. Tidak ada yang tahu persis sudah berapa lama masyarakat aslinya hidup di sini. Menurut legenda setempat, kehidupan di Pulau Nias berasal dari Sungai Gomo dimana menjadi mula keturunan 6 dewa dan peradaban manusia. Oleh karena itu, masyarkat Nias menyebut diri mereka ono niha atau ‘anak masyarakat’. Persebaran masyarakat dimulai dari Nias Tengah kemudian berpindah ke Utara dan Selatan dengan mengembangkan bahasa, adat istiadat dan seninya masing-masing. Diperkirakan manusia di Pulau Nias saudah ada sejak 30.000 tahun lampau.
Secara tradisional, desa-desa di Pulau Nias dipimpin kepala desa yang memimpin dewan sesepuh. Di Nias masih banyak terdapat desa-desa adat dimana yang menonjol dari desa-desa adat itu adalah penataan arsitekurnya, baik lanskap maupun bangunannya. Dulunya setiap desa di pimpin oleh seorang raja. Masyarakat Nias menganut sistem hierarki dengan kasta tertinggi yang ditempati bangsawan, diikuti masyarakat biasa. Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada. Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan Kasta) dimana tingkatan kasta tertinggi adalah balugu. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi dalam pesta selama berhari-hari.
Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat yang diwarisi dari budaya pejuang perang. Oleh karena itu, masyarakat dan budaya Nias sampai saat ini mampu bertahan dari serbuan budaya asing. Budaya pejuang Nias telah berlangsung selama berabad-abad ketika desa-desa di sini mendeklarasikan perang satu sama lain. Dahulu peperangan antardesa atau antar suku berlangsung karena terprovokasi oleh rasa dendam atau masalah perbudakan.
Selain lekat dengan budaya pejuang, masyarakat Nias juga sekaligus masyarakat petani. Mereka menanam ubi, jagung dan talas untuk memenui kebutuhan hidupnya. Hewan babi selain menjadi hewan ternak juga menunjukan status seseorang karena semakin banyak seseorang memiliki babi maka semakin tinggi pula kedudukannya dalam masyarakat desa.
Pulau Nias bukan tanpa catatan sejarah karena sesungguhnya pulau mengagumkan ini pernah masuk catatan pedagang China, Portugis dan Arab. Dahulu Pulau Nias dikenal sebagai asal diperolehnya para budak yang kemudian diperjualbelikan oleh Kerajaan Aceh, pedagang Portugis, dan pedagang Belanda. Bahkan, hingga abad ke-19 Nias masih dikenal dunia luar sebagai lokasi perdagangan budak.
Pemerintah Hindia Belanda menguasai Pulai Nias tahun 1825. Meskipun sebenarnya sebelum itu pulau ini telah berhubungan dengan dunia luar tetapi kebudayaan tradisional tetap utuh secara menakjubkan.
Masyarakat Nias memiliki karakter keras dan kuat yang diwarisi dari budaya pejuang perang. Oleh karena itu, masyarakat dan budaya Nias sampai saat ini mampu bertahan dari serbuan budaya asing. Budaya pejuang Nias telah berlangsung selama berabad-abad ketika desa-desa di sini mendeklarasikan perang satu sama lain. Dahulu peperangan antardesa atau antar suku berlangsung karena terprovokasi oleh rasa dendam atau masalah perbudakan.
Selain lekat dengan budaya pejuang, masyarakat Nias juga sekaligus masyarakat petani. Mereka menanam ubi, jagung dan talas untuk memenui kebutuhan hidupnya. Hewan babi selain menjadi hewan ternak juga menunjukan status seseorang karena semakin banyak seseorang memiliki babi maka semakin tinggi pula kedudukannya dalam masyarakat desa.
Pulau Nias bukan tanpa catatan sejarah karena sesungguhnya pulau mengagumkan ini pernah masuk catatan pedagang China, Portugis dan Arab. Dahulu Pulau Nias dikenal sebagai asal diperolehnya para budak yang kemudian diperjualbelikan oleh Kerajaan Aceh, pedagang Portugis, dan pedagang Belanda. Bahkan, hingga abad ke-19 Nias masih dikenal dunia luar sebagai lokasi perdagangan budak.
Pemerintah Hindia Belanda menguasai Pulai Nias tahun 1825. Meskipun sebenarnya sebelum itu pulau ini telah berhubungan dengan dunia luar tetapi kebudayaan tradisional tetap utuh secara menakjubkan.
Kebudayaan masyarakat Nias yang nampak misterius justru akan menarik untuk Anda kenali. Beragam jejak budaya megalitikum kuno dan arsitektur tradisional di pulau ini telah memikat banyak peneliti budaya sekaligus menjadi daya tarik pariwisata.
Persiapkan diri Anda untuk terkesima saat berkunjung ke Bawomatauo dengan melihat pertunjukan lompat batu. Atraksi ini telah menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat Pulau Nias. Beranikah diri Anda untuk mencoba sendiri melompati batu dengan setinggi 2 meter. Menakjubkan bukan! Lompat batu sendiri awalnya adalah latihan perang kuno bagi para pemuda lokal di Pulau Nias.
Di Desa Bawatomataluo dan Desa Hilisimae ada juga pertunjukan tari perang tradisional dimana para penarinya mengenakan kostum tradisional dengan bulu burung berwarna cerah yang diikatkan di kepala mereka. Kedua desa ini dapat dikatakan sebagai desa adat yang paling fenomenal di Nias selatan.
Cobalah berjalan-jalan di desa-desa sekitar Pulau Nias untuk melihat rumah dengan arsitektur unik yang telah dibangun sejak berabad-abad. Rumah ini tahan gempa dan dibangun dengan pilar-pilar yang bertumpu pada bongkahan-bongkahan batu. Pilar-pilar itu dibangun dengan tumpukan-tumpukan batu yang miring sehingga menciptakan struktur 3 dimensi yang kuat. Ada yang mengatakan bahwa desain rumah seperti kapal kayu ini terinspirasi oleh kapal-kapal Belanda yang membawa rempah-rempah. Melihat ukiran kayu yang rumit dari rumah penduduk akan membuat Anda merasa takjub. Kunjungi Desa Hilisimaetano di Selatan Nias dimana memiliki lebih dari 100 rumah tradisional dengan ukiran khas Nias.
Ada alasan mengapa para peselancar mancanegara menyebut Nias sebagai ‘surga selancar di Bumi’. Hal itu karena ombak di tempat ini begitu spektakuler dibonusi pantai berpasir indah berwarna merah keputihan. Peselancar yang sudah berpengalaman akan berkerumun untuk bertarung memecah ombak besar di Pantai Lagundri. Di sini pemandangan pantainya juga begitu menakjubkan. Matahari terbenam pelan-pelan seolah jatuh ke dalam laut dengan warna merah kekuningan yang memukau.
Pilihan lain di Pulau Bawa dan Pulau Aru yang dapat diakses melalui 2 jam perjalanan dengan menggunakan kapal feri atau menyewa perahu dari Nias maka Anda dapat berselancar sepusanya di pulau ini.
Mengapa tidak Anda mencoba merasakan seperti seorang arkeolog untuk menyelidiki tempat-tempat dari zaman prasejarah atau zaman batu. Mengamati detail kecil tentang prasejarah Nias karena Nias dianggap sebagai rumahnya kebudayaan magalitikum tertua di Indonesia. Di sini ada banyak rumah adat dengan ukiran batu tua. Beberapa dari rumah adat ini bahkan telah berusia 3.000 tahun.
Di dataran tinggi sekitar Gomo berdiam contoh ukiran batu terbaik. Daerah ini meski sulit diakses karena harus melewati hutan atau menumpang kendaraan setempat namun akan terbayar dengan pengalaman petualangan yang mengesankan dan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Ada 14 titik situs batu megalit di sini dan 4 situs di antaranya telah dipugar pemerintah. Arca-arca batu berusia ratusan tahun tersebut bisa dijumpai di halaman-halaman rumah penduduk.
Di Gunungsitoli ada Museum Pusaka Nias yang menyimpan sekira 6500 koleksi benda budaya peninggalan Masyarakat Nias. Pastor Johannes M. Hammerle, seorang warga asal Jerman sudah menetap di sini selama 36 tahun bertindak selaku direktur museum. Ia telah berjasa mengumpulkan benda koleksi budaya Nias dari desa-desa di pedalaman. Di museum ini dapat Anda lihat beragam artefak alat rumah tangga, patung-patung megalit dari kayu dan batu, perhiasan, senjata tradisonal, mata uang, pakaian perang, simbol-simbol kebangsawanan, serta rumah adat asli Nias atau disebut omo hada.
Persiapkan diri Anda untuk terkesima saat berkunjung ke Bawomatauo dengan melihat pertunjukan lompat batu. Atraksi ini telah menjadi ciri khas kebudayaan masyarakat Pulau Nias. Beranikah diri Anda untuk mencoba sendiri melompati batu dengan setinggi 2 meter. Menakjubkan bukan! Lompat batu sendiri awalnya adalah latihan perang kuno bagi para pemuda lokal di Pulau Nias.
Di Desa Bawatomataluo dan Desa Hilisimae ada juga pertunjukan tari perang tradisional dimana para penarinya mengenakan kostum tradisional dengan bulu burung berwarna cerah yang diikatkan di kepala mereka. Kedua desa ini dapat dikatakan sebagai desa adat yang paling fenomenal di Nias selatan.
Cobalah berjalan-jalan di desa-desa sekitar Pulau Nias untuk melihat rumah dengan arsitektur unik yang telah dibangun sejak berabad-abad. Rumah ini tahan gempa dan dibangun dengan pilar-pilar yang bertumpu pada bongkahan-bongkahan batu. Pilar-pilar itu dibangun dengan tumpukan-tumpukan batu yang miring sehingga menciptakan struktur 3 dimensi yang kuat. Ada yang mengatakan bahwa desain rumah seperti kapal kayu ini terinspirasi oleh kapal-kapal Belanda yang membawa rempah-rempah. Melihat ukiran kayu yang rumit dari rumah penduduk akan membuat Anda merasa takjub. Kunjungi Desa Hilisimaetano di Selatan Nias dimana memiliki lebih dari 100 rumah tradisional dengan ukiran khas Nias.
Ada alasan mengapa para peselancar mancanegara menyebut Nias sebagai ‘surga selancar di Bumi’. Hal itu karena ombak di tempat ini begitu spektakuler dibonusi pantai berpasir indah berwarna merah keputihan. Peselancar yang sudah berpengalaman akan berkerumun untuk bertarung memecah ombak besar di Pantai Lagundri. Di sini pemandangan pantainya juga begitu menakjubkan. Matahari terbenam pelan-pelan seolah jatuh ke dalam laut dengan warna merah kekuningan yang memukau.
Pilihan lain di Pulau Bawa dan Pulau Aru yang dapat diakses melalui 2 jam perjalanan dengan menggunakan kapal feri atau menyewa perahu dari Nias maka Anda dapat berselancar sepusanya di pulau ini.
Mengapa tidak Anda mencoba merasakan seperti seorang arkeolog untuk menyelidiki tempat-tempat dari zaman prasejarah atau zaman batu. Mengamati detail kecil tentang prasejarah Nias karena Nias dianggap sebagai rumahnya kebudayaan magalitikum tertua di Indonesia. Di sini ada banyak rumah adat dengan ukiran batu tua. Beberapa dari rumah adat ini bahkan telah berusia 3.000 tahun.
Di dataran tinggi sekitar Gomo berdiam contoh ukiran batu terbaik. Daerah ini meski sulit diakses karena harus melewati hutan atau menumpang kendaraan setempat namun akan terbayar dengan pengalaman petualangan yang mengesankan dan menjadi kenangan yang tak terlupakan. Ada 14 titik situs batu megalit di sini dan 4 situs di antaranya telah dipugar pemerintah. Arca-arca batu berusia ratusan tahun tersebut bisa dijumpai di halaman-halaman rumah penduduk.
Di Gunungsitoli ada Museum Pusaka Nias yang menyimpan sekira 6500 koleksi benda budaya peninggalan Masyarakat Nias. Pastor Johannes M. Hammerle, seorang warga asal Jerman sudah menetap di sini selama 36 tahun bertindak selaku direktur museum. Ia telah berjasa mengumpulkan benda koleksi budaya Nias dari desa-desa di pedalaman. Di museum ini dapat Anda lihat beragam artefak alat rumah tangga, patung-patung megalit dari kayu dan batu, perhiasan, senjata tradisonal, mata uang, pakaian perang, simbol-simbol kebangsawanan, serta rumah adat asli Nias atau disebut omo hada.
Kebanyakan akomodasi di Pulau Nias terbilang sederhana. Biasanya itu berupa tempat tinggal penduduk atau losmen. Di Gunungsitoli ada banyak restoran kecil di sepanjang jalan raya-nya.
Ada beberapa jenis kuliner khas di pulau ini dimana Anda yang Muslim perlu bertanya dahulu bahan asal pengolahannya. Beberapa jenis makanan tersebut, yaitu: harinake (berupa daging babi cincang), ni'owuru (daging babi yang diasinkan agar bisa bertahan lama), gowi hihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk), godo-godo (ubi yang diparut dan dibentuk bulat-bulat kemudian direbus lalu di taburi kelapa parut), köfö-köfö (daging ikan yang dihancurkan lalu dibentuk bulat kemudian dijemur, dikeringkan, dan diasap), tamböyö (ketupat), loma (beras ketan yang dimasak dengan tempatnya bambu), gae ni bogo kazimone (makanan dari sagu), dan raki gae (pisang goreng).
Coba pula cicipi boboto, yaitu masakan dari fillet ikan kakap atau ikan kerapu yang dagingnya dilayukan atau dibusukkan selama dua malam, ditaburi kelapa parut dengan bumbu khusus, lalu dibungkus dan dikukus dalam daun singkong.
Ada beberapa jenis kuliner khas di pulau ini dimana Anda yang Muslim perlu bertanya dahulu bahan asal pengolahannya. Beberapa jenis makanan tersebut, yaitu: harinake (berupa daging babi cincang), ni'owuru (daging babi yang diasinkan agar bisa bertahan lama), gowi hihandro (Gowi Nitutu ; Ubi tumbuk), godo-godo (ubi yang diparut dan dibentuk bulat-bulat kemudian direbus lalu di taburi kelapa parut), köfö-köfö (daging ikan yang dihancurkan lalu dibentuk bulat kemudian dijemur, dikeringkan, dan diasap), tamböyö (ketupat), loma (beras ketan yang dimasak dengan tempatnya bambu), gae ni bogo kazimone (makanan dari sagu), dan raki gae (pisang goreng).
Coba pula cicipi boboto, yaitu masakan dari fillet ikan kakap atau ikan kerapu yang dagingnya dilayukan atau dibusukkan selama dua malam, ditaburi kelapa parut dengan bumbu khusus, lalu dibungkus dan dikukus dalam daun singkong.
Bepergian di Pulau Nias membutuhkan kesabaran karena angkutan umum di sini sulit diakses. Di Gunungsitoli , terminal bus berjarak 1,5 km ke Selatan dari pusat kota. Anda juga dapat menggunakan minibus atau opelet yang berangkat dari Gunungsitoli menuju ke arah Selatan pasar Teluk Dalam. Perjalanan dari Gunungsitoli menembus pinggir pantai dan perbukitan menuju Teluk Dalam, Nias Selatan.
Pulau Nias : Jejak Budaya Mengagumkan di Samudera Hindia dan Surganya Peselancar Dunia
Reviewed by Fachri Ramadhan
on
10:58:00
Rating: